Sabtu, 16 Juli 2011

Kisah Bijak “Ayah, Anak dan Keledai “

        Suatu hari seorang ayah mengajak anaknya pergi ke luar kota untuk berdagang. Dia percaya bahwa pendidikan terbaik adalah gabungan teori dan praktik sekaligus. Oleh karenanya ia menginginkan agar sejak dini anaknya mengerti apa yang dikerjakan ayahnya, sehingga kelak pada saatnya, sang anak bisa meneruskan usaha orang tuanya. Hal lain yang ingin diraih adalah agar sang anak tahu betapa keras perjuangan Sang Ayah. Dari sini ia akan mendapatkan dua pelajaran sekaligus. Pertama respek terhadap orang tua. Kedua mengerti bahwa mencari nafkah itu tidaklah mudah, sehingga ia akan menghargai jerih payah kedua orang tuanya, hidup lebih bertanggung jawab dan tidak berfoya-foya

         Karena sang keledai bertubuh kecil, maka sang ayah mengalah pada putranya. Ia rela berjalan kaki sambil menuntun keledai yang juga dimuati makanan cukup banyak sebagai bekal di perjalanan. Selang beberapa lama, mereka berpapasan serombongan orang yang lantas berbisik-bisik membicarakan mereka. Seorang diantaranya berkata, “Kasihan benar si ayah sudah tua masih harus berjalan kaki. Sementara sang anak yang jauh lebih muda benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya ia berjalan dan merelakan ayahnya naik keledai. Sungguh malang nasib si ayah mempunyai anak yang tidak berbakti”.
         Mendengar celotehan ini sang anak merasa malu. Ia pun meminta ayahnya naik keledai dan giliran ia yang berjalan kaki. Perjalanan pun terus dilanjutkan. Tak berapa lama mereka bertemu serombongan orang yang berbeda. Pandangan mata mereka aneh dan penuh Tanya. Ketika hamper berpapasan, mereka masih sempat mendengar ucapan seseorang yang mengatakan, “benar-benar orang tua yang jahat. Anak sekecil itu disuruh berjalan kaki diterik matahari? Sementara ia enak-enak menunggang keledai tanpa merasa bersalah sedikitpun! ”Mendengar ucapan tersebut, anak dan ayah saling berpandangan mata. Mereka bingung sejenak mendengar dua pandangan yang kontras berbeda. Lantas sang ayah pun dengan sigap menarik anaknya naik ke punggung keledai bersama-sama. Kini kedua ayah dan anak itu naik keledai berboncengan dan meneruskan perjalanan menuju kota.
        Tak lama kemudian mereka berjumpa dengan rombongan ketiga. Dari jauh mereka sudah mendengar umpatan-umpatan, “sungguh manusia yang jahat dan tidak punya rasa kasihan. Keledai sekecil dan sekurus itu harus ditunggangi dua orang yang berbadan cukup besar. Belum lagi masih ditambah beban yang cukup berat. Benar-benar manusia yang tidak punya perasaan kasihan sedikitpun. Coba saja kalau dia yang menjadi keledai, baru sebentar pasti sudah minta ampun”
         Mendengar hal itu, ayah dan anak itu kembali menjadi bingung. Serba salah. Begini salah, begitu keliru. Akhirnya sambil menghela nafas panjang, keduanya turun dari punggung keledai dan berjalan beriringan disamping keledai. Meski harus berjalan di terik matahari yang ganas, mereka memaksa diri untuk terus berjalan tanpa henti.
          Kala pikiran mereka sedang menerawang sambil berjalan, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh tawa cekikikan serombongan orang yang melewai mereka, “bapak dan anak ini sungguh gila. Punya keledai tidak dinaiki, malah dituntun. Kenapa keledainya tidak gendong saja sekalian? Benar-benar ada orang yang sedemikian bodohnya didunia ini. Sungguh mereka jauh lebih bodoh dari si keledai”
         Kali ini sang ayah tidak lagi bingung. Dengan tangannya yang kuat anaknya dinaikkan ke punggung keledai. Sebelum sang anak protes, ayahnya berkata, “ Hidup haruslah punya pendirian. Telinga memang berfungsi untuk mendengar. Tapi otak kita bertugas menyaring semua yang tertangkap oleh panca indera kita, termasuk oleh pendengaran” sementara hati kita punya tugas untuk menimbang, merasakan mana yang tepat dan benar, mana yang tidak. Dari awal kita telah melakukan kekeliruan, hanya menggunakan telinga untuk mendengar. Namun kita membiarkan diri kita dipermainkan keadaan yang dating dari luar kita. Itu tidak boleh terjadi lagi anakku. Kita harus bersikap, punya pendirian dan berani mempertahankan pendirian kita dengan segala konsekuensinya. Kamu masih kecil, kamulah yang lebih layak menaiki keledai. Saat ini ayahmu masih kuat. Nanti pada saatnya tiba, gentian ayahmu yang harus kamu rawat dan kamu jaga. Itulah kehidupan”.
          Sahabat terkasih, ketika saya membaca kisah ini sungguh sangat apresiatif dan merasakan bahwa saya sendiri pernah mengalami saat-saat bimbang tersebut. Terkadang kita selalu mengikuti apa yang orang bilang namun justru itu membuat kita menjadi ragu akan diri kita sendiri dan tidak memiliki pendirian tetap. Ketika saya membaca ini saya merasa ada kekuatan dan mindset baru untuk selalu menjalani hidup dengan penuh keyakinan dan kepercayaan. Niscaya Tuhan akan memberikan jalan terang dan indah bagi kita semua amien….

Sumber : http://mindsetbijak.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar